Event

Islam dan Nation State

1940 0 17 Agustus 2019
Penulis
Tidak ada bio

Oleh: Sahiron Syamsuddin (Ketua AIAT se-Indonesia)

Akhir-akhir ini anggota dan simpatisan eks-Hizbut Tahrir Indonesia mengemukakan kembali bahwa Khilafah Islamiyah merupakan satu-satunya sistem pemerintahan menurut Islam. Mereka juga memandang bahwa nation state (negara bangsa) manapun tidah legitimate. Tidak heran bahwa mereka menyebutnya dengan negara ṭaghūt atau negara bersistem kafir. Pandangan semacam ini jelas mengancam keberadaan NKRI dan Pancasila. Atas dasar itu, Pemerintah Indonesia telah mencabut legalitas HTI setelah diterbitkannya PERPPU No. 2 tahun 2017 (menjadi UU No. 16, tahun 2017) dalam rangka mempertahankan NKRI. Di artikel ini penulis mengemukakan bahwa pandangan eks-HTI itu tidak tepat dan bahwa negara bangsa itu sesuai dengan prinsip Islam.

 

Kepemimpinan Umum

Alquran dan Hadis tidak memerintahkan umat Islam untuk mendirikan Khilafah Islamiyah. Istilah khilāfah sendiri tidak ditemukan dalam Alquran. Yang ada di dalamnya adalah kata khalīfah (pemimpin, atau penerus/pengganti). Memang, mereka yang setuju dengan konsep Khilafah memandang Q. al-Baqarah:30 sebagai dasar pendirian Khilafah Islamiyah. Namun, ayat itu sebenarnya tidak berbicara tentang pendirian Khilafah Islamiyah, tetapi tentang penciptaan Nabi Adam sebagai khalīfah (pengganti) di muka bumi untuk mengurus dan memakmurkannya. Mayoritas mufassir, termasuk Al-Dāmaghānī, mengatakan bahwa kata tersebut tidaklah berarti ‘pemimpin’, melainkan ‘pengganti’. Secara rasional, Nabi Adam a.s. saat diciptakan oleh Allah Swt belum memiliki umat yang dipimpin. Dia baru berfungsi sebagai makhluk yang menggantikan jin yang konon sebelumnya ditugasi oleh Allah untuk memakmurkan bumi. Salah satu syarat orang yang ditugasi mengelola bumi adalah memiliki ilmu pengetahuan dan menang dalam ‘bertanding’ -- meminjam istilah Prof. Yudian Wahyudi, atau dengan istilah yang lebih sederhana, ‘terpilih’ dalam proses seleksi atau pemilihan atau yang semisalnya, sebagaimana yang diisyarat oleh Q. al-Baqarah:31.

Sebagian orang memandang Hadis Nabi yang artinya: “Siapapun yang meninggal dunia dalam keadaan tidak memberi baiat (janji setia kepada pemimpin), maka dia mati dalam keadaan jahiliyah” sebagai dasar pendirian Khilafah Islamiyah. Pandangan semacam ini pun kiranya tidak tepat. Hadis ini berbicara tentang kewajiban taat kepada pemimpin yang sah sesuai dengan aturan yang berlaku pada waktu tertentu. Secara prinsipil, Alquran dan Hadis memberikan tuntunan bahwa dalam sebuah komunitas sekecil apapun harus ada seseorang yang diangkat sebagai ‘pemimpin’. Kepemimpinan ini diciptakan untuk membantu terciptanya kemaslahatan bersama, menegakkan keadilan dan menghindari kekacauan serta kezaliman. Namun, kedua sumber Islam ini tidak menerangkan bentuk atau sistem kepemimpinan seperti apa yang harus dibangun dan dijalankan. Karena itu, bentuk negara dan sistem kepemimpinan diserahkan sepenuhnya kepada manusia berdasarkan kesepakatan bersama dengan memperhatikan kondisi/situasi, waktu dan tempat.

 

Nabi Muhammad sebagai ‘Republikan’

Ketika Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, beliau melihat bahwa komunitas kota itu plural, baik dari segi suku maupun agama. Saat itu, terdapat dua suku besar, yakni Aus dan Kharzraj. Agama mereka pun bervariasi: Yahudi, Kristen, Islam, dan Majusi. Karena itu, beliau membentuk kesepakatan bersama antarkomunitas, yang dikenal dengan “Piagam Madinah”, dengan tujuan mempersatukan umat/masyarakat yang plural tersebut. Melihat hal ini, bisa kita katakan bahwa beliau adalah seorang ‘republikan’ yang tertarik untuk mengayomi semua komponen yang ada di Madinah. Piagam Madinah inilah yang menjadi inspirasi bagi kyai-kyai dan pendiri NKRI dalam membentuk dasar negara kita yang bisa mempersatukan bangsa yang sangat plural, baik dari segi suku, bangsa, bahasa dan ras. Negara Kota Madinah (masa Nabi) dan NKRI itu contoh dari nation states (negara-negara bangsa).

Berdasarkan hal itu, memproklamirkan NKRI dan Pancasila itu berarti ittibā‘li sunnati Rasulillāh (mengikuti sunnah Rasulullah), yakni meniru Piagam Madinah. Karena itu, seluruh umat Islam Indonesia harus mempertahankan NKRI dan Pancasila ini dan membangunnya secara kontinu sesuai dengan perkambangan zaman. Mempertahankan NKRI dan Pancasila, bagi umat Islam, hukumnya wajib, karena bila tidak, maka yang akan terjadi adalah perpecahan dan perang saudara. Di dalam Ushul Fiqh kita kenal konsep sadd al-ẓarī‘ah (menghindari terjadinya sesuatu yang dilarang). Karena menghindari perpecahan dan perang saudara itu hukumnya wajib, maka hukum menjaga NKRI dan Pancasila wajib pula. Seandainya sekolompok orang memproklamirkan bentuk negara lain, seperti Khilafah Islamiyah, di suatu wilayah di Indonesia, maka wilayah lain yang mayoritas penduduknya bukan muslim akan tidak bersedia berada di bawah kekuasaannya. Mereka akan juga mendirikan negara-negara kecil lain. Andai hal ini terjadi, maka dapat dipastikan perang saudara akan terjadi dan pertumpahan darah tidak bisa terelakkan. Karena itulah, NKRI dan Pancasila wajib dipertahankan untuk menghindari konflik internal bangsa Indonesia.

Komentar (0)

Tidak ada komentar