Event

Mari (tidak) Melawan Corona bersama Ust. Zulkifli

704 0 16 April 2020
Penulis
Tidak ada bio

Disclaimer: awalnya, saya hendak menulis ini untuk menanggapi video Ust. Zulkifli Muhammad Ali (UZMA) yang viral terkait ketidaksetujuannya dengan pengosongan masjid, peniadaan shalat jama’ah, dan pembubaran tabligh akbar. Akan tetapi, kabarnya beliau telah melakukan klarifikasi, bahwa video tersebut dibuat sebelum keluar fatwa MUI, dan beliau telah mengeluarkan video baru untuk menyampaikan qawl jadīd. Tapi, pencarian saya di google tidak menemukan video qawl jadīd tersebut. Namun demikian, saya masih menilai apa yang ada dalam video tesebut masih penting untuk didiskusikan, terutama bagi pelajar studi Al-Qur’an dan Tafsir. Tapi tentu saja pesan dalam tulisan ini tetap relevan untuk masyarakat umum secara lebih luas. 

***

Dalam sebuah video yang viral, UZMA menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap pembatasan aktifitas kegamaan di ruang publik, terutama yang bentuknya keramaian. Dalam video itu, ust. Zulkifli Muhammad Ali (UZMA) mengutip dua ayat, salah satunya Q.S. al-Ḥasyr: 21. Berikut saya kutip secara langsung ayat terkait beserta terjemahan, dan narasi dari UZMA:

لَوۡ أَنزَلۡنَا هَـٰذَا ٱلۡقُرۡءَانَ عَلَىٰ جَبَل لَّرَأَیۡتَهُۥ خَـٰشِعا مُّتَصَدِّعا مِّنۡ خَشۡیَةِ ٱللَّهِۚ وَتِلۡكَ ٱلۡأَمۡثَـٰلُ نَضۡرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ یَتَفَكَّرُونَ

 

Setelah membaca ayat ini, UZMA menerjemahkannya dengan intonasi yang oratorik, “Kalau Al-Qur’an ini kami turunkan kepada gunung, akan hancur lebur gunung itu, sehancur-hancurnya, saking takutnya mereka kepada Allah.”

Beliau melanjutkan, “Masak covid-19 yang sekecil itu tidak akan hancur?! Gunung yang sebegitu besarnya, khāsyiʿān mutaṣaddiʿān min khasyyatillāh, akan hancur berkeping-keping, apalagi covid-19?! Di mana iman kita?”

Akumulasi antara ayat yang dikutip, pemaknaan yang dipesankan, serta gaya orasi yang berapi-api melahirkan efek persuasif yang kuat bagi pendengar; pidato beliau meyakinkan, sangat meyakinkan sekali. Beliau memang memiliki kemampuan orasi yang sangat mumpuni!

 

Efek persuasi pidato UZMA akan lebih meyakinkan bagi orang yang belum memiliki gambaran jelas tentang bagaimana iman. Alasannya adalah karena mereka tidak memiliki konsepsi kongkrit dalam bayangan/pengalaman mereka tentang iman, sehingga mereka tidak memiliki materi yang bisa mereka dialogkan dengan ilustrasi dari UZMA. Ketiadaan bahan perbandingan ini kemudian akan ‘memenangkan’ narasi dari UZMA; akan muncul kesan bahwa ‘begitulah iman—seperti yang disampaikan UZMA lah iman yang paling relevan saat ini; bahwa tidak takut kepada covid-19 adalah wujud ultim dari iman; berkenaan dengan pesan beliau di video tersebut—tetap menyelenggarakan shalat jama’ah atau menghadiri tabligh akbar adalah iman.’

Apalagi, setelah itu, UZMA mengunci ilustrasinya dengan antagonis iman, munafiq, fāsiq, dan orang hatinya berpenyakit. Lengkap sudah elemen persuasinya, ilustrasi dengan sumber yang sakral, orasi yang canggih, dan ancaman; jika tidak memahami iman seperti ini, maka akan jatuh kepada kemunafikan dan kefasikan, dan akan jadi mangsa covid-19 dalam keadaan terhina. 

Saya ingin mendiskusikan penggunaan ayat ini dalam orasi UZMA: “Apakah beliau menggunakannya dengan tepat?” Pandangan saya, tidak; beliau tidak menggunakannya secara tepat. 

Begini argumennya.

Ada dua hal dalam ayat itu yang relevan untuk didiskusikan terkait cara UZMA memahami dan menjabarkannya. Pertama, ayat ini adalah perumpamaan, perkalauan, perandaian. Masih dalam ayat yang sama, disebutkan, wa tilka al-ams̀āl naḍribuhā linnās (itu adalah perumpamaan yang Kami sediakan pada manusia). 

Maksudnya bagaimana? Dengan ayat ini, Allah menyampaikan perandaian. “Seandainya Al-Qur’an Kami turunkan kepada gunung…” Perandaian ini mengindikasikan bahwa Al-Qur’an itu berat. Dalam bahasa pop sekarang, “Memikul al-Qur’an itu berat, gunung g akan kuat, biar manusia saja.” Dalam konteks ini, UZMA mengaitkannya kepada covid-19, “Jika gunung saja yang begitu hebat tidak sanggup memikul Al-Qur’an, apalagi covid-19”. Hingga titik ini, elaborasi UZMA tidak ada masalah.

Baca juga:  LGBT dalam Teks dan Konteks
 

Masalahnya adalah, perandaian ini juga mengindikasikan bahwa Al-Qur’an tidak benar-benar diturunkan kepada gunung, melainkan kepada manusia. Mengapa demikian? Karena pesan yang disampaikan di dalam Al-Qur’an relevan dengan manusia, bukan dengan gunung. Al-Qur’an menjadi hudā bagi manusia, bukan bagi gunung. Al-Qur’an menjadi bayān bagi manusia, bukan bagi gunung. Pesan-pesan Al-Qur’an akan menuntun manusia ke jalan yang benar, bukan menuntun gunung. 

Tentu saja ini erat kaitannya dengan fungsi Al-Qur’an diturunkan ke bumi. Al-Qur’an menjadi petunjuk kehidupan, bukan untuk menghancurkan gunung. Kepada manusia lah Al-Qur’an dihidupkan, bukan kepada gunung; karena manusia hidup lah Al-Qur’an hidup di muka bumi, bukan karena gunung. Kalimat terakhir lebih kurang pengembangan dari ungkapan Ali ibn Abī Ṭālib: “al-qur’ān innamā huwa khaṭṭun masṭūrun la yanṭiq, innamā yanṭiqu bihi al-rijāl.” 

 

Singkatnya, relevansi Al-Qur’an adalah bagi manusia, bukan bagi gunung, dengan demikian, juga bukan bagi covid-19. Al-Qur’an tidak akan jadi hudā bagi covid-19, tidak akan menjadi bayān bagi covid-19.

Poin kedua, yang menjadi argumen paling utama dalam tulisan ini, adalah ayat ini menggunakan kata anzala. Kata nazala disebutkan ratusan kali dalam Al-Qur’an, sementara anzala itu sendiri digunakan sebanyak 183 kali. Kata ini digunakan oleh Al-Qur’an dalam banyak konteks: menurunkan hujan, hidangan, keamanan, besi, dan sebagainya. Namun demikian, nuansa paling besar dari kata anzala berkaitan dengan pewahyuan Al-Qur’an; dari 183 penggunaan, kata ini secara mayoritas digunakan dalam konteks Al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad atau manusia secara umum.

Ini adalah poin pertama terkait anzala. Poin kedua, kata anzala selalu diposisikan dalam konteks aktifitas Allah; Allah-lah yang melakukan anzala, bukan siapa-siapa yang lain. Dalam konteks Al-Qur’an, tentu saja ini artinya Allah lah yang meng-anzala-kan Al-Qur’an. 

 

Hanya ada satu kali kata ini digunakan oleh Al-Qur’an untuk mengindikasikan aktifitas manusia, yaitu di surat al-Wāqiʿah: 69

ءَأَنتُمۡ أَنزَلۡتُمُوهُ مِنَ ٱلۡمُزۡنِ أَمۡ نَحۡنُ ٱلۡمُنزِلُونَ

Di ayat ini, antum (kamu/kalian) diposisikan sebagai subjek (pelaku) untuk kata anzala. Akan tetapi, kata ini tidak digunakan terkait Al-Qur’an, dan ia diposisikan sebagai pengingkaran. “Apakah kalian yang menurunkannya (air) dari awan ataukah Kami yang menurunkan?” Formulasi kalimatnya adalah pertanyaan, tapi maknanya adalah penginkaran, sehingga maknanya yang lebih eksplisit adalah seperti ini: “Bukan kamu yang menurunkan air, tapi Kami lah yang menurunkannya!”

Kesimpulannya, kata anzala adalah kata yang menceritakan aktifitas sakral; aktifitas Allah, bukan aktifitas manusia. Meskipun kata ini digunakan untuk hal-hal yang bukan sakral, seperti air, makanan, besi, dsb, tapi pelakunya adalah Dzat yang sakral, Allah. Tentu saja kesakralannya menjadi semakin tampak jika yang diturunkan adalah sesuatu yang sakral pula, yaitu Al-Qur’an. 

Artinya, anzala bukanlah wilayah manusia. Dalam konsepsi semantik Al-Qur’an, manusia tidak akan bisa melakukan anzala, terutama jika berkaitan dengan Al-Qur’an. Manusia meng-anzala-kan Al-Qur’an adalah sesuatu yang mustahil.

Di titik ini, mari kita hadirkan kembali kutipan dari UZMA: “Kumpulkan semua covid-covid-19 yang ada—lebih daripada itu, kumpulkan—kami akan tantang kalian dengan Al-Qur’an al-Karīm, tapi dengan iman.” 

Dengan berbekal ayat ini, UZMA menantang covid-19. Karena menggunakan ayat ini, maka narasi dari UZMA adalah bahwa ketika Al-Qur’an di-inzal kepada gunung, gunung akan hancur, maka, jika kepada covid-19 Al-Qur’an di-inzal, maka covid juga akan hancur. Jadi, kita tidak layak takut kepada covid-19, karena kita punya Al-Qur’an. Mari kita inzal-kan Al-Qur’an kepada covid-19, supaya ia hancur lebur.

Tapi, di sini lah problemnya. Inzal adalah aktifitas yang hanya Allah mampu melakukannya. Dalam konteks ini, bahkan hujan buatan yang dibuat oleh manusia tidak terkategori kepada inzāl. Karena inzāl adalah aktifitas ‘misterius’ yang berada di luar wilayah empirik yang bisa dicerna oleh manusia. Apalagi jika inzāl itu berkaitan dengan Al-Qur’an. UZMA atau manusia manapun tidak mampu meng-inzal al-Qur’an. 

Aktifitas manusia terkait Al-Qur’an bukan inzāl, tapi tablīgh, qirā’ah, tartīl, tafakkur, tadabbur, dan sebagainyaApakah jika Al-Qur’an di-qira’ah-kan, di-tablīgh-kan, di-tartīl-kan, di-tadabbur-kan, di-tafakkur-kan kepada covid-19 mereka akan hancur? Al-Qur’an tidak memberikan jawaban tentang ini. Yang disampaikan oleh Al-Qur’an adalah, law anzalna al-qur’ān ʿalā jabalin; bukan ballaghnā, rattalnā, atau qaraʿnā. Itulah mengapa kontekstualiasasi UZMA menggunakan ayat ini terkait kepercayaan diri melawan covid-19 tidak relevan.

Saya ingin beranalogi. Suatu ketika, Wiro Sableng beradu jotos dengan pendekar ulat bulu. Pertarungan berjalan sengit. Satu, dua, tiga, hingga 6 jurus berlalu, belum tampak siapa yang menang. Di jurus ke-7, pendekar ulat bulu tersungkur.

Peristiwa ini diceritakan oleh Wiro Sableng kepada anak dari ponakan tetangganya, sebutlah si Awan. “Kalaulah saya mulai pertengkaran dengan jurus ke-7, pendekar ulat bulu akan langsung kalah”. Wiro ingin menceritakan bahwa jurus ke-7 ini sangat ampuh, namun sulit dipelajari. Karena sulitnya, baru dia yang mampu menguasainya. Di samping itu, jurus ini hanya bisa dikeluarkan dengan kapak 212.

Suatu ketika, Awan berkelahi dengan temannya, Kopid. Awan bilang “Saya tantang kamu dengan jurus ke-7. Pendekar ulat bulu akan langsung kalah karena jurus ini, apalagi cuma kamu si Kopid.” 

Itulah yang terjadi pada UZMA.

Satu hal lagi, saya juga ingin mengomentari secara singkat, singkat sekali, terkait perbandingan ‘takut Allah’ dan ‘takut covid-19.’ Argumen saya, kembali, menggunakan analogi. “Saya sayang kepada istri saya. Saya juga sayang kepada anak saya. Saya juga sayang kepada orang tua. Begitu juga, saya juga sayang kepada teman-teman, laki-laki maupun perempuan. Maka, jika ada orang yang mempermasalahkan ‘takut karena covid-19’ tidak valid karena hanya Allah lah yang pantas ditakuti, artinya mereka tidak bisa ‘sayang kepada teman-teman’ sekaligus ‘sayang kepada istri-anak’ tanpa harus dipertentangkan. Bukankah Al-Qur’an juga menyampaikan takut dengan dua bentuk, khasyyah dan khauf?

 

Penulis:

Fadhli Lukman, Anggota AIAT

Komentar (0)

Tidak ada komentar