Event

Nuzul Al-Qur’an: Mukjizat Hadir Di Bulan Ramadan

1041 0 10 Mei 2020
Penulis
Tidak ada bio

Dalam diskusi rutin habis shalat tarawih di rumah tadi malam (malam 17 Ramadan), dengan tema nuzul al-Qur’an, salah satu putri saya, Nur Rif’ah Hasaniy, mengajukan pertanyaan. “Yah, katanya Alquran pertama kali turun di bulan Ramadan, dan ia turun dua kali: dari lauh al-mahfuz ke langit dunia yang disebut baitul izzah; dan, dari baitul izzah kepada nabi Muhammad yang berada di bumi. Kalau memang demikian, itu berarti, Alquran turun dari atas, dan Allah berada di atas sana. Padahal, ayah pernah menjelaskan, Allah tidak membutuhkan tempat, apalagi bertempat di atas langit”.

Pertanyaan ini muncul dari putri saya lantaran di waktu sebelumnya, saya membahas kritik terhadap pendapat Wahhabi bahwa Allah ada di langit. Jika kita menolak pendapat Wahhabi, begitu juga sejatinya kita “menolak”, menurut putri saya, pendapat bahwa Alquran turun dari langit, karena itu berarti juga, Allah ada di langit. Saya akan melihat masalah ini dari dua argumen: Allah yang menjadi subyek, dan teks Alquran yang membicarakan masalah nuzul al-Qur’an.

 

Allah Ada Dimana-Mana

Dari sisi subyeknya, Allah mempunyai sifat tanzih dan mukhalafatuh li al-hawadithi. Kedua istilah ini saling berhubungan. Tanzih artinya, Allah suci dari hal-hal yang bersifat kurang, dan karena itu, Dia berbeda (mukhalafatuhu) dengan manusia yang mempunyai sifat-sifat kekurangan. Dia tidak serupa (tasybih) dengan makhluk-Nya. Di antara sifat kekurangan yang ada pada manusia yang sejatinya tidak dimiliki Allah adalah membutuhkan tempat. Justru sebaliknya, sifat-sifat itu menjadi ajaran Wahhabi. Kaum Wahhabi berpendapat, Allah bertempat di langit, dan terkadang mereka mengatakan, Allah bertempat di Arasy-Nya. Itu berarti, Allah membutuhkan tempat. Pemahaman seperti ini tidak masuk akal, karena beberapa alasan.

Pertama, Allah itu adalah Dzat yang Maha Awal (Qidam) dan kekal abadi (Azali), di sisi lain, keberadaan langit sebagai bagian dari alam merupakan ciptaan-Nya. Alam termasuk langit ada setelah Allah ciptakan. Sebagai sesuatu yang diciptakan, alam ini bersifat baharu, yakni pernah tidak ada dan suatu ketika akan tidak ada. Ali bin Abi Thalib, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i mengatakan “Allah itu sudah ada, sementara alam (termasuk langit) belum ada. Dan Allah yang sekarang sama dengan Allah yang ada sebelum alam (langit) ini ada atau sebelum alam ini diciptakan. Dia tidak mengalami perubahan pada Dzat dan Sifat-Nya. Pertanyaannya, Allah berada dimana sebelum alam termasuk langit itu diciptakan? Juga, dimana Allah bertempat ketika langit yang diciptakan-Nya itu kelak hancur pada hari kiamat?

Kedua, kalau Allah bertempat di langit, bukankah itu berarti, Dia bertempat di dalam ciptaan-Nya sendiri? Jika bertempat di dalam ciptaan-Nya sendiri, berarti Allah mempunyai sifat-sifat yang sama dengan ciptaan-Nya, yakni membutuhkan tempat. Padahal Allah berbeda dengan ciptaan-Nya. Allah adalah Dzat Universal dan tak terbatas. Sementara alam (langit) itu terbatas.

Andaikata diyakini Allah ada di langit, berarti Dia terbatas karena menempati sesuatu yang terbatas. Karena keterbatasan-Nya, Dia tidak bisa ada di dua tempat yang berbeda dalam waktu yang bersamaan. Dia tidak bisa ada di langit dan di bumi. Dia tidak ada di bumi, tidak ada bersama manusia yang menghuni bumi ini. Untuk berada di bumi, Dia harus bergerak melakukan perpindahan. Padahal, Alquran mengatakan Allah ada di langit dan ada di bumi (al-Zukhruf:84), Allah ada bersama kamu sekalian (al-Hadid:4), dan kemana saja kalian menghadap, disanalah wajah Allah berada (al-Baqarah:115).

Itu berarti, Allah ada dimana-mana. Dia ada di setiap ruang dan waktu, dan tidak di ruang dan waktu tertentu saja. Akan tetapi, istilah ada dimana-mana itu tidak dalam arti menempati ruang dan waktu, karena ruang dan waktu yang merupakan bagian dari sifat alam ini adalah ciptaan-Nya. Melainkan dalam arti sifat-Nya. Atau bisa dikatakan, meminjam istilah kaum Sufi, Allah “meliputi” Ruang dan Waktu. Karena Dia Maha Meliputi (Muhithun bikulli syai’).

 

Alquran Hadir dari Allah Yang Maha Agung

Di sisi lain, dari sisi teksnya, Alquran “turun dari atas”. Dikatakan, Alquran “diturunkan” pada bulan Ramadan (al-Baqarah:185), pada malam lailat al-qadar (al-Qadar:1). Ia diturunkan dari lauh al-mahfuz (al-Buruj:21-22) melalui Malaikat Jibril lalu diturunkan secara sekaligus (inzal) ke langit dunia yang bernama baitul izzah, dan dari baitul izzah diturunkan secara berangsur-angsur (tanzil) kepada nabi Muhammad yang ada di bumi.

Dari keyakinan umum umat Islam tentang nuzul Alquran ini, setidaknya ditemukan tiga istilah kunci, yakni istilah lauh al-mahfuz, baitul izzah serta nazala dan derivasinya. Ketiga istilah kunci itu mencerminkan bahwa lauh al-mahfuz dan baitul izzah berada di atas. Lauh al-mahfuz berada di tempat paling atas, lalu di bawahnya adalah baitul izzah dan yang paling bawah adalah bumi tempat manusia hidup yang akan menerima Alquran.

Jadi, Alquran “diturunkan” dari tempat paling atas bernama lauh al-mahfuz, ke langit dunia yang bernama bait al-izzah, lalu diturunkan lagi ke bawah yakni bumi, tempat manusia hidup.

Apa benar Alquran itu “diturunkan” dari atas ke bawah?

Selain argumen dari sisi subyeknya tadi, bahwa Allah ada dimana-mana, kita juga bisa melihatnya dari sisi teksnya. Kalau kita kaji istilah yang digunakan teks Alquran tentang masalah ini, yakni istilah nazala dan derivasinya di dalam Alquran, yang selama ini dimaknai sebagai “turun dari tempat di atas”, akan kita temukan betapa istilah nazala dan derivasinya itu masuk kategori teks ambigu (mutasyabihat), yang memerlukan interpretasi rasional, karena tidak semua istilah nazala mempunyai makna turun dari suatu tempat yang tinggi.

Istilah nazala mempunyai beragam makna. Ia bisa bermakna ciptaan (al-Hadid:25, al-A’raf:26, al-Zumar:6). Besi, baju dan binatang yang disinggung di dalam ayat-ayat itu adalah benda-benda yang ada di bumi, tetapi Alquran menggunakan istilah nazala dengan makna ciptaan.

Alquran juga menggunakan istilah nazala dengan makna lain (al-Fath:4, al-A’raf:160, al-Qashash:24, al-Zumar:6). Ayat pertama bermakna ja’ala, yakni menjadikan; ayat kedua bermakna razaqna, yakni memberi rizqi; dan ayat ketiga bermakna a’tha’a, yakni memberi.

Karena itu, dari dua sisi argumen tadi (subjek dan teks), Alquran tidak turun dari atas ke bawah, dari langit ke bumi, karena Allah tidak bertempat di langit. Selain itu, Alquran itu adalah salah satu sifat Tuhan, dan karena itu ia tidak bergerak dari satu tempat yang tinggi ke tempat lain yang berada di bawahnya.

Sebab, sebagaimana sifat-sifat-Nya yang lain, Alquran tidak mempunyai bentuk yang bersifat bendawi, seperti berbentuk lafaz, suara dan gerak. Alquran bersifat maknawi, yang tersimpan di lauh al-mahfuz (al-Buruj:21-22) atau kitabun maknun (al-Waqi’ah:77-78). Terkadang, Jibril mengambil makna itu lalu menyampaikannya kepada nabi Muhammad yang pertamakali terjadi di bulan Ramadan, dan terkadang Nabi Muhammad berhubungan langsung dengan Allah.

Nabi Muhammad mewadahkan wahyu ilahi yang bersifat makna tadi ke dalam bahasa Arab, sebagai bahasa masyarakat penerima pertama agar pesan-Nya bisa dipahami oleh umat manusia. Peristiwa hadirnya Alquran di bulan ramadan inilah yang kemudian dikenal dengan istilah nuzul al-Qur’an, tetapi tidak dalam arti “turun” dari langit, karena Allah tidak bertempat di atas langit, melainkan dalam arti “hadir” dari Allah karena Dia ada dimana-mana dan senantiasa hadir bersama manusia.

Mengapa Alquran menggunakan istilah nazala untuk kehadiran Alquran yang dari segi lahiriahnya bermakna turun dari atas ke bawah? Penggunaan nazala dan derivasinya dengan makna “turun” itu dimaksudkan sebagai sebuah pengagungan akan kemahakuasaan dan kemahabesaran Tuhan, bukan hendak menunjukkan Tuhan berada di suatu tempat “di atas atau tinggi”, dan dari sana Dia menurunkan wahyu-Nya.

Karena pengertian “agung” biasanya bermakna berada “di atas atau tinggi”, maka digunakan istilah nazala, yang dari segi makna hakikinya adalah turun dari tempat yang tinggi, dan Allah berada di tempat yang tinggi itu. Akan tetapi, yang dimaksudkan sebenarnya dari istilah itu adalah dalam arti nilai pengangungan akan Allah dan wahyu-Nya. Jadi kesimpulannya, Alquran hadir dari Allah yang Maha Agung, bukan turun dari “atas sana”. Inilah sisi lain pengertian nuzul al-Qur’an yang tentu saja terbuka untuk didiskusikan lebih lanjut.

 

Penulis:

Aksin Wijaya, Pengurus AIAT se-Indonesia

Komentar (0)

Tidak ada komentar