
Event
Social Distancing Dalam Perspektif Surat al-Baqarah ayat 195
Ikhtiar Sebagai Konsekuensi Imani
Social distancing, karantina dan isolasi diri saat ini menjadi perhatian masyarakat di Indonesia bahkan hampir di seluruh dunia setelah merebaknya wabah Virus Corona (Covid-19). Siapapun yang pernah berinteraksi atau kontak dengan orang yang terjangkit Covid-19 atau baru pulang dan bepergian dari daerah terjangkit akan diminta melakukan karantina diri, meskipun tanpa gejala. Mereka yang bergejala seperti mengalami batuk kering yang mengganggu, demam ringan, tidak selera makan, dan tidak bisa menghirup bau, atau mungkin mengalami sesak napas, biasanya dokter akan langsung merekomendasikan untuk isolasi.
Social distancing, pembatasan sosial atau menjaga jarak adalah serangkaian tindakan pengendalian infeksi non farmasi yang dimaksudkan agar penyebaran Covid-19 tidak menjadi massif dan meluas, atau untuk menghentikan dan memperlambat penyebaran virus mengerikan ini. Pada hakikatnya, langkah ini merupakan tindakan preventif dan antisipatif dalam rangka pencegahan penyebaran Covid-19. Social distancing bisa melalui pelaksanaan shalat zuhur pada hari Jum’at di rumah masing-masing, pemutasian shalat berjamaah dari masjid ke rumah, transformasi kegiatan pembelajaran sekolah, kampus serta perkantoran ke rumah (sistem daring), dan menghindari pertemuan yang melibatkan banyak orang. Langkah ini sebenarnya merupakan ikhtiar manusia yang diambil sebagai manifestasi atas prinsip hifzh an-nafs atau jaminan atas keselamatan jiwa manusia.
Dalam Islam, ikhtiar atau melakukan upaya-upaya dan langkah-langkah untuk mencapai tujuan, atau dalam konteks pencegahan penyebaran Virus Corona yang diwujudkan dalam bentuk social distancing merupakan sebuah keharusan dan itu merupakan wujud dari keimanan. Virus Corona yang tidak lama terjadi ini telah menjangkiti jutaan manusia di seluruh dunia, bahkan puluhan ribu yang meninggal akibat wabah mengerikan ini.
Secara teologis, umat Islam meyakini bahwa kematian merupakan takdir bagi semua manusia. Kapan pun dan dimana pun berada jika sudah sampai pada waktunya, kematian pasti datang tak terduga-duga. Namun, keyakinan ini tidak menggugurkan kewajiban manusia khususnya umat Islam untuk berikhtiar. Sebagai konsekuensi imani, manusia harus berupaya, bertindak dan mengambil langkah-langkah serta mengambil sikap. Dalam situasi tidak normal, seperti bila sakit maka harus berikhitiar atau mengambil sikap untuk berobat, dan bila terjadi wabah pandemi maka harus bertindak dengan melakukan langkah-langkah pencegahan dengan cara apapun termasuk melakukan social distancing. Melakukan social distancing merupakan bentuk kontribusi dalam menyelamatkan jiwa manusia.
Namun, ikhtiar itu tidak cukup hanya dengan melakukan social distancing, lebih dari itu harus ada ikhtiar batin. Ikhtiar batin yang terus dilakukan adalah dengan cara meningkatkan keimanan dan ketakwaan, meningkatkan ibadah kepada Allah. Memperbanyak munajat dan juga di dalam setiap kali menjalankan shalat fardu, diselingi dengan doa kepada Allah SWT dengan penuh khusyuk dan tadharru.
Social Distancing Perspektif Surat al-Baqarah ayat 195
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.”
Pesan moral yang tersirat dalam ayat di atas adalah bahwa agar jiwa (an-nafs) terjamin keselamatan dan keamanannya dan terhindar dari sesuatu yang membahayakan yang menyebabkan kematian, maka hendaklah tidak melakukan suatu tindakan atau mendekati sesuatu yang menyebabkan kebinasaan. Pesan ini menunjukkan bahwa menjaga jiwa dengan cara apapun merupakan bagian dari maqashid al-Qur’an. Pakar tafsir Imam Azzajjaj mengemukakan, melalui ayat di atas Allah melarang umat Islam melakukan suatu tindakan yang menyebabkan atau mengakibatkan kebinasaan/kematian. Sementara Imam an-Naisaburi menafsirkan ayat di atas sebagai larangan mendekati sesuatu yang menjatuhkan pada kebinasaan atau mengunjungi/pergi ke suatu tempat atau daerah yang membahayakan, termasuk daerah yang terjangkit Virus Corona.
Dua penafsiran di atas memberikan sebuah perspektif bahwa hifzh an-nafs (menjaga jiwa) yang diwujudkan dengan melakukan berbagai tindakan preventif dan antisipatif merupakan suatu keharusan. Melakukan sesuatu yang membahayakan atau menghampiri sesuatu yang diyakini kemungkinan besar mengancam keselamatan jiwa sama saja dengan melakukan tindakan bunuh diri. Misalnya, dalam konteks situasi darurat sosial seperti sekarang ini akibat pandemi Covid-19, yang oleh World Health Organization (WHO) dinyatakan sebagai penyakit menular melalui orang yang telah terinfeksi, maka melakukan kontak dengan orang yang terinfeksi atau mengunjungi daerah yang terjangkit virus tersebut tanpa menggunakan APD (alat pelindung diri) secara tidak langsung sama saja dengan melakukan tindakan bunuh diri. Bahkan, lebih dari itu, tindakan tersebut menjadi bagian dari penyebab laju penyebaran virus mematikan ini.
Dalam situasi sulit saat ini, ayat di atas dapat menjadi alat legitimasi atas larangan mengadakan pertemuan atau acara yang dihadiri orang banyak, seperti konferensi, seminar, dan rapat, mengunjungi orang yang sedang sakit, melakukan kontak dengan orang yang terpapar Covid-19 seperti berjabat tangan, atau melakukan sesuatu yang menyebabkan terjangkitnya virus mengerikan ini, dll. Namun, dibalik larangan itu tersirat anjuran untuk melakukan sebaliknya, seperti anjuran melakukan social distancing, karantina dan isolasi diri.
Diketahui, saat ini pemerintah menerapakan social distancing sebagai salah satu langkah pencegahan dan pengendalian infeksi Covid-19 dengan menganjurkan orang sehat untuk membatasi kunjungan ke tempat ramai dan kontak langsung dengan orang lain serta menganjurkan agar tidak mengunjungi daerah yang terjangkit Covid-19. Anjuran ini sangat logis, sebab paling tidak memiliki dua alasan kuat, yaitu alasan secara medis, dan alasan secara teologis. Secara medis, penyebaran Covid-19 ini dapat diminimalisir melalui social distancing. Langkah ini dinilai sangat efektif untuk mengurangi penularan Covid-19. Terlebih, aktivitas orang dewasa dan anak-anak di luar rumah bisa meningkatkan risiko terpaparnya virus. Sedangkan secara teologis, menjaga atau memelihara jiwa adalah bagian dari anjuran Agama, yang dalam ranah ilmu fikih disebut bagian dari maqashid syariah. Wajudnya adalah, Allah melarang hambanya melakukan sesuatu yang berisiko tinggi dan membahayakan atau menyebabkan hilangnya nyawa. Maka dari itu, anjuran melakukan social distancing memenuhi standar ilmiah, karena secara medis dan teologis, langkah ini dinilai berkontribusi untuk menyelamatkan jiwa manusia dari wabah Corona.
Wabah virus Corona yang terjadi saat ini membuat masyarakat semakin hati-hati dalam beraktivitas, salah satunya dengan cara social distancing atau menjaga jarak di lingkungan sosial, yakni mengantisipasi agar tidak mudah tertular penyakit tersebut. Melakukan social distancing adalah bagian dari bentuk keimanan seseorang, yaitu dengan berikhtiar agar tidak ikut terkena virus mengerikan ini. Social distancing juga sebagai bentuk ibadah ketaatan kepada pemimpin negara, di mana membuat kebijakan demi melindungi semua masyarakatnya. Hal ini juga bagian dari mengikuti perintah Allah SWT sebagaimana tersirat dalam ayat di atas.
Penulis:
Moh. Bakir, Anggota AIAT
Sumber: https://www.dialeka.com/artikel/social-distancing-dalam-perspektif-surat-al-baqarah-ayat-195/
Komentar (0)
Tidak ada komentar