Event

ICONQUHAS 2017 & 2nd ANMEET AIAT 2017: Perkembangan Terkini Kajian Alquran dan Hadis di Indonesia

718 0 27 Oktober 2017
Penulis
Tidak ada bio
Mun’im Sirry: “Diskursus ulama klasik lebih terbuka”.

Jakarta – Pada Senin-Rabu, 6-8 November 2017 Asosiasi Ilmu Alquran dan Tafsir (AIAT) se-Indonesia bekerja sama dengan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah menyelenggrakan hajatan besar. Kegiatan tahunan ini bernama International Conference on Qur’an and Hadith Studies (ICONQUHAS) dan the 2nd Annual Meeting of Indonesian Assosiation of Qur’anic Studies (AIAT). “The Current Status and Development of the Qur’anic and Hadith Studies: Sources, Discourses, and Practices”, merupakan tema yang diangkat dalam gelaran akbar ini.

Para sarjana terkemuka, baik dari dalam maupun luar negeri, hadir dalam acara tersebut untuk mempresentasikan penelitian terbarunya. Hadir dalam acara tersebut Nasarudin Umar, Kamaruddin Amin, Mun’im Sirry, Muhamad Ali, Irina R. Katkova, Norbani B. Ismail dan para sarjana lainnya dari sejumah perguruan tinggi di Indonesia.

Dalam kesempatan tersebut, Prof. Nasarudin Umar, Anggota Majelis Penasihat AIAT se-Indonesia dan Imam Besar Masjid Istiqlal, berperan sebagai pembicara kunci. Mengawali ceramahnya, Nasar menekankan akan pentingnya pendekatan tafsir sufistik yang dikembangkan para ulama terdahulu, sebuah pendekatan tafsir yang melibatkan dimensi spiritual penafsir atas Alquran. Para Nabi dan ulama sufi menjadi contoh bagaimana wahyu, ilham, mimpi, dan dimensi spiritual lainnya menjadi media penting dalam menyingkap makna Alquran. “Pohon sekalipun mampu ‘berdialog’ dengan penafsir sufistik dalam mengungkap rahasia Alquran”, tutur Nasar.

Hadir dalam plenary session pertama Mun’im Sirry, Muhamad Ali dan Norbani B. Ismail. Asisten profesor pada Universitas Notre Dame, Amerika Serikat, Mun’im Sirry, mereviu perkembangan kajian Alquran di Barat. Penulis buku Polemik Kitab Suci (2013) ini menyampaikan bahwa studi Alquran saat sekarang sedang menjadi primadona dalam studi Islam di kalangan para sarana Barat. Banyak pendekatan yang digunakan, dari reformis hingga revisionis. Umumnya mereka melakukan studi Alquran dengan merujuk pada sumber-sumber klasik Islam. Salah satu poin penting yang disampaikan Mun’im adalah bahwa para ulama klasik sebetulnya sangat terbuka dalam berdiskusi tentang Alquran, sebuah perdebatan yang belum tampak dalam kajian para sarjana di Indonesia.

Sementara itu, Muhamad Ali, dosen di Universitas California Riverside, Amerika Serikat, memfokuskan pembicaraannya pada studi biografi atau sirah Nabi Muhammad di Barat dan Indonesia. Menurutnya, kajian sirah di Barat sangat beragam dilihat dari aspek penggunaan sumber dan pendekatan. Tidak semua menunjukkan sikap negatif, bahkan tak sedikit sarjana yang sangat simpatik ketika menulis tentang Muhammad.

Adapun penyaji terakhir, Norbani B. Ismail, dosen tamu di UIN Jakarta asal Malaysia, memaparkan tentang tafsir Alquran karya Hamka dan al-Sya’rawi, dua penafsir Al-Qur’an modern yang sangat populer di Indonesia dan Mesir. Norbani menunjukkan pentingnya peranan dua penafsir tersebut dalam melakukan reinterpretasi ayat-ayat gender. Meski berada dalam dua kawasan berbeda, tetapi keduanya dipersatukan dalam identitas keagamaan, kesadaran teologis-spiritual dan warisan tradisi penafsiran yang sama.

Di hari kedua, plenary session diisi oleh Irina R. Katkova dan Kamaruddin Amin yang dipandu oleh Ala’i Najib. Katkova, peneliti pada St. Petersburg Institute of Oriental Manuscript, Rusia, menyajikan tentang sejarah Alquran di Rusia. Menurutnya, kajian Alquran di Rusia memiliki kedudukan penting dalam politik dan kehidupan akademik di Rusia. Sementara Kamaruddin Amin, Dirjen Pendidikan Tinggi Agama Islam Kemenag RI, menyampaikan kembali hasil studi doktoralnya terdahulu di Jerman, Metode Kritik Hadis (2009), tentang kajian kritis atas hadis. Baginya, studi matan-cum-sanad sangat penting dilakukan oleh para sarjana hadis Indonesia. Pendekatan tersebut tidak saja mampu membantah kesalahan ulama yang terlalu loose dalam menilai hadis seperti dilakukan Nashiruddin al-Albani, tetapi juga bisa menghasilkan kajian hadis yang lebih akurat, komprehensif, dan otoritatif seiring dengan ketersediaan data yang jauh lebih lengkap dan sempurna dibanding era sebelumnya.

Selain pelanry session, ICONQUHAS ini juga menggelar sejumlah parallel session yang menampilkan banyak pembicara dan discussant dari sarjana terkemuka Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) di Indonesia, seperti Jakarta, Yogyakarta, Jambi, Bandung, Banten, Ponorogo, Tulungagung, Madura, Banjarmasin, Pekalongan, Riau, Kudus, Makassar, Semarang, Surakarta, Malang, Salatiga dan berbagai wilayah lain. Tema-tema kajian Alquran dan hadis yang disajikan pun sangat beragam, diantaranya kajian metodologis, keterbukaan dan kebebasan beragama, social engagement, sastra dan pendekatan sosial-humaniora, gender, radikalisme, living Qur’an and hadis di lembaga pendidikan, sosial media, tafsir Nusantara, dan pembacaan produktif atas Alquran dan hadis. Seluruh makalah yang telah dipresentasikan selanjutnya dibuat proceeding yang terindeks oleh Thomson Reuters melalui Atlantis Press. (Jajang A Rohmana/Yahya)

Komentar (0)

Tidak ada komentar