Jakarta – Pentashihan Alquran bukanlah pekerjaan yang sederhana. Di dalamnya tidak hanya meniscayakan ketelitian, tapi harus diimbangi dengan kesabaran. Selain itu kita juga dibebani tanggungjawab secara moral terhadap proses distribusinya. Sebab ada banyak naskah yang masuk dan harus dicermati satu-satu untuk meminimalisir kesalahan tulis yang tidak jelas riwayatnnya.

Demikian dikatakan oleh Ketua Lembaga Pentashihan Mushaf al-Qur’an (LPMA), Mukhlis Hanafi saat menyambut kunjungan dari Asosiasi Ilmu Alquran dan Tafsir (AIAT) se-Indonesia, Rabu (9/11). Audiensi ini merupakan salah satu rangkaian dari kegiatan 2^nd Annual Meeting AIAT yang berlangsung di UIN Syarif Hidayatullah.

Menurut Mukhlis, Museum Bayt al-Quran ini merupakan pusat konservasi, edukasi, dan rekreasi bagi masyarakat. Karenanya, sangat diharapkan bahwa museum yang berada di salah satu sudut Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, ini dapat mencerdaskan masyarakat mengenai pentingnya menjaga dan memberdayakan warisan masa lalu.

“Untuk saat ini, sebetulnya masih sangat minim naskah-naskah kuno yang kami miliki. Karena itu kami juga berharap dapat menjalin kerjasama dengan AIAT untuk dapat mengisi ruang-ruang di Museum ini sebagai pusat edukasi warisan Nusantara masa lalu utamanya di bidang kajian maupun naskah Alquran”, terangnya di hadapan sedikitnya empat puluh perwakilan lembaga anggota AIAT.

Melalui warisan peradaban itu, lanjutnya, kita setidaknya dapat menelusuri sejauh mana kejayaan peradaban masa lalu itu untuk dapat kita adaptasi di era sekarang ini. Jadi, meskipun berada di zaman yang modern ini, namun kita tetap tidak melupakan peninggalan-peniggalan para leluhur untuk kita pelajari dan teladani.

Kunjungan ini diakhiri dengan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) oleh seluruh pihak antara AIAT dan seluruh anggota lembaganya yang diwakili oleh Sahiron, Ketua AIAT, dengan paraf dari Ahmad Rafiq, Sekretaris AIAT dengan LPMA, yang diwakili oleh Mukhlis Hanafi. (Anwar/Yahya)